Senin, 22 Desember 2008

“Nek ....Apa artinya menjadi tua ?”

Tubuhnya telah ringkih dimakan usia, badan terbungkuk, kulit keriput, suara serak bergetar ketika bicara, pandangan kabur tak jelas melihat..... itulah perempuan tua yang kami sebut nenek. Nenek kami adalah sosok perempuan yang menentramkan jika bicara, yang menyejukkan hati ketika bertutur. Tentang masa lalu, tentang kehidupan. Ialah yang kasihnya pada kami cucu-cucunya dibagikan melalui dongeng-dongeng malam sebelum kami tidur, jika lebaran kami bertandang. Ialah yang tangan tuanya tak pernah berhenti membuat panganan dari kampung yang sulit dicari dan yang akan ada hanya jika kami datang.

Ialah yang karena lintasan waktu dan luasnya pengalaman menjadi arif, menjadi bijaksana. Ia adalah pohon tua nan kokoh, rindang, berdaun lebat, berbuah lezat. Ia memberi kesegaran kepada siapa saja yang ketika terik berteduh di bawahnya. Daunnya yang hijau dan rindang mengundang kawanan aneka burung untuk tinggal dan berkicau membuat ramai kala pagi menjelang. Ia adalah pohon tua yang berbuah nikmat, yang karena kematangannya menghasilkan buah ranum, manis dicicipi dan sulit dicari, ia adalah pohon langka spesies unik yang kini telah punah.

Ia adalah pohon tua kokoh yang menyimpan beratus-ratus liter air di bawah tanah, karena akar-akarnya kokoh menghunjam, mencengkram bumi, yang tak akan tumbang meski badai, topan datang menerjang. Ia menjadi sumber, mata air yang tak pernah kering di musim kemarau. Ia bisa saja pohon tua....namun tak pernah berhenti berbuah. Beberapa rantingya telah lapuk karena usia. Namun lingkar tahun kambiumnya menjadi saksi dari banyak peristiwa, yang darinya anak-anak dan cucu-cucunya dapat mengenal masa lalu, menarik pelajaran dan kearifan atas setiap makna yang tersimpan di balik setiap peristiwa.

Kami cucu-cucumu adalah yang paling merindukanmu, laksana pesawat tempur menderu, memburu, berlari dalam pelukanmu yang hangat dan penuh kasih, kami rindu dalam pelukan sayang, buaian kasih, dan alunan tembang-tembang lama yang kami juga tak tahu apa maknanya, tapi yang pasti kami rasa itulah kidung syukur pada Illahi. Nasehat yang dititip melalui syair-syair.

Nenek tetap setia menunggu rumah tuanya, merawat halaman, menyapu lantai , memasak, ia setia...... menjaga rumah tuanya. Itulah rumah dimana buah cintanya tumbuh dan berkembang, menjadi manusia yang memiliki makna, bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya, yang kini menyebar, membentuk keluarga-keluarga baru di beberapa titik penjuru persada.

Karenanya Nenek tak hendak meninggalkan rumah tua itu, meski kami ingin sekali mengajaknya tinggal dengan kami. “ Tidak cu....terima kasih, disinilah bapakmu dilahirkan, di bawah pohon mangga itulah ia dulu bermain ayunan, atau bermain petak umpet dengan teman-teman kecilnya”, begitu setiap kali kami mengajak nenek tinggal bersama kami. Bagi nenek ini adalah sejarah dan nyawanya, berbilang tahun berlalu masa, bersama orang-orang terkasih, bersama kakek yang kini telah pergi menghadap Illahi. Setiap jengkal tanah dan halaman telah ditapaki oleh kaki-kaki mungil anak-anaknya, dan juga kami cucu-cucunya.

Nenek yang telah begitu sabar menghadapi ketuaan dan penyakitnya, tak pernah berhenti, ketuaan bukanlah halangan untuk berbuat meski hanya untuk sekedar menyingkirkan duri dari halaman rumahnya. Ia pernah mengingakan kami bahwa menjadi tua adalah keniscayaan tak terbantahkan. Menjadi tua dan mati......haruslah dihadapi dengan ikhlas, karena memang ia adalah kepastian yang nyata dan akan terjadi. Menjadi tua dan mati adalah keharusan, karenanya belajarlah darinya. Menjadi tua dan mati akan melunturkan semua keangkuhan, meluruhkan semua kesombongan. Lihatlah.... betapa banyak hal yang diajarkan dari menjadi tua.

Bukankah puluhan tahun silam nenek adalah gadis cantik, kembang desa yang dipuja, dikejar, dicari para pemuda. Jelas di tengah keriputnya, masih tersisa guratan kecantikan masa lalu. Tegas... itu bisa dilihat dari foto-foto ketika nenek masih muda. Tidak sedikit kidung cinta, puisi rindu tercipta karena kecantikan dan bayangan kebahagiaan di benak para pemuda. Kemanakah kekaguman, rasa penasaran ketika kulit kencang putih dan bersih suatu masa menjadi keriput dan tak indah lagi? Dimana lagi kidung cinta puisi rindu itu?ketika tubuh langsing dan ramping, tegak dan indah dengan rambut hitam, berombak tergerai sebahu, kini menjadi bungkuk dan rambutpun memutih?

Ahh...Nenek sadar betul bahwa kecantikan tak ubahnya seperti kembang, kecil, tumbuh, mekar, menebar wangi, namun tak lama kemudian layu, kering atau busuk dan jatuh, tak lagi wangi, gugur menyatu dengan bumi.Jika kecantikan dan kekaguman inderawi telah usai, kemana sirnanya kidung cinta puisi rindu yang dulu tercipta, adakah lagi lirik –lirik dari musik indah, syair-syair yang mengagumi ketuaan?

Engkau juga telah ajarkan dan selalu mendorong kami untuk menetapkan cita-cita setinggi-tingginya, setinggi apapun yang bisa dicita-citakan, karena tujuan memberikan jalan, bukan seperti sabut di tengah lautan, tak tahu kemana arah mesti menuju, hingga akhirnya hancur berkeping-keping karena terhempas gelombang tertabrak karang tajam.

Engkau juga telah ajarkan untuk menerima setiap musibah dengan hati lapang. Untuk memahami masalah..... sebagai salah satu jalan Tuhan untuk menjadikan kami lebih baik, lebih kuat. Seperti setiap gelombang datang membawa satu butir pasir kecil, yang terus menerus datang, siang dan malam, hingga menambah banyaknya partikel pembentuk karang. Yang kukuh di tengah badai, yang tegak di tengah gelombang.

Nenek kami telah lama berpulang... menghadap Tuhan dengan senyum terkembang, namun ia masih hidup dan akan terus hidup dalam hati kami, dalam ingatan kami, bersama dongeng-dongeng yang kini kami ingat dan akan kami rindukan. Dongeng-dongeng yang kini juga kami ceritakan kepada anak-anak kami, cicit-cicitmu. Nenek kami telah ajarkan bagaimana menjadi tua, bagaimana menjadi dewasa bersama bergantinya waktu berlalunya masa.

Selamat Jalan Nenek........ Beristirahatlah dalam tenang, do’a kami menyertaimu, amiinn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar