Senin, 22 Desember 2008

Setetes Embun

Dengan Bismillah bermula kata, melalui sholawat kami haturkan salam kepada junjungan tercinta Rasul terpilih, utusan zaman, pemimpin umat, Panglima Perang penyayang istri, suami terbaik panutan lelaki. Semoga segala rahmat, dan kemuliaan tercurah kepada Beliau, keluarga, sahabat dan kita sekalian. Yang atas tawasulnya langit dibuka, dan do’a dikabulkan, dan karenanya maka keberanian ini datang untuk sekedar menyegarkan ingatan, membuka pikiran, jika memang di dalamnya terselip kebenaran, meski mungkin kadang pahit dirasakan.

Sebelum kalimat diuntai terjalin makna, ijinkan kami menghaturkan maaf beribu ampun, tak hendak menggurui, apalagi mengajari, namun sekali lagi mencoba merasakan getar kebahagiaan, dengan tetap tak lupa pegangan. Kalimat dirangkai menjelma maksud, jika tak dapat menghapuskan dahaga, maka biarlah ia menjadi setetes embun, dan....... ijinkan kami memulainya :

Wahai dua cinta yang kini dipautkan, wahai dua jiwa yang kini dipersatukan, aku datang padamu untuk sekedar mengetuk pintu kalbu, agar tak khilaf, terlelap dalam waktu, berlalu dan tanpa memperoleh hikmah atasnya.

Wahai Pangeran, yang sebentar lagi menjadi Raja.....wanita bisa berarti beberapa makna, satu diantaranya adalah isteri, dalam maksud ini maka ia adalah belahan jiwa sandaran hati, tempat bertambatnya biduk kasih, setelah letih perjalanan menempuh samudera, menghadang gelombang, menembus topan. Tak akan engkau jatuhkan walau sehelai rambutpun karena keangkuhan tanganmu.

Istri tentulah bukan sekedar tempat dimana hasrat, birahi dipuaskan, ia adalah teman tempat dimana semua akan dibagi, sedih, duka, air mata ,tangis. Juga suka cita, bahagia, berdua bersama. Ia adalah jiwa yang tak akan engkau sisakan kebohongan, rahasia dimanapun dalam ruang paling tersembunyi dalam hatimu, yang mungkin beberapa lelaki melakukannya.

Ia adalah sahabat terbaikmu, tempatmu berkeluh kesah, mencurahkan segenap penat, juga temanmu untuk mendengar semua lara, duka dan juga deritanya, dengarlah dan dengarlah, karena kata kalimat bijak ” Berbicara itu adalah berbagi, tetapi mendengar itu mencintai”, bukakan dadamu seluas langit untuk menampung semua deritanya, karena hendaknya bagimu air matanya adalah kesedihanmu, dan senyumnya adalah kebahagiaanmu. Ialah yang nyamuk bertengger di kulitnya engkau kan cemburu.

Istrimu adalah firdausmu di dunia ini, yang akan kau rindukan taman-taman indahnya, yang menyejukkan mata, menentramkan hati, yang akan engkau kenang, yang ketika dekat engkau cintai, yang ketika jauh kau rindui. Kerinduanmu laksana pucuk-pucuk hijau menunggu turunnya embun di tengah terik kemarau panjang. Yang tulus senyumnya akan melunturkan segala keletihanmu.

Tak akan kau ucapkan satu kata perintah dengan bahasa manapun, kecuali ikhlas, ridho ia lakukan.Tak akan kau minta apapun padanya kecuali bahagia ia mengerjakannya.

Istrimu adalah kekasih sejatimu di dunia, lebih dari itu ia adalah juga ibu bagi anak-anakmu, yang padanya kau titipkan benih, amanah masa depan kehidupan, yang akan menjadi penerus perjuangan, sumber kebahagiaan dan tabungan masa mendatang, melalui do’a anak-anakmu, yang karenanya dosa-dosamu diampunkan. Ialah anak-anak , mutiara kirmizi yang ditunggu.

Ibu bagi anak-anakmu bukanlah sasaran kemarahan, tudingan kesalahan, jika anak-anakmu gagal, salah, khilaf. Engkau keliru jika begitu saja menyalahkannya, jika engkau hendak marah, maka pertanyakan dirimu apa yang telah engkau lakukan untuk bersana-sama dengannya, bahu membahu membesarkan dan mendidik mutiara-mutiara kirmizi itu ?

Sungguh jika kasih kau sebut......akan kau dampingi ia dengan segenap cinta menghadapi masa-masa sulit, melahirkan buah hati yang karenanya nyawa dipertaruhkannya.

Sungguh.....akan kau dampingi ia dengan segenap cinta menjaga malam-malam yang meletihkan karena popok bayimu basah. Jangan....jangan... kau bangunkan tidur lelahnya, biarlah untuk beberapa waktu akan kau gantikan popok sang jagoanmu atau si mawar kebanggaanmu, dan biarkan ia lelap bersama mimpi indahnya, setelah masa-masa 9 bulan perjuangan beratnya.

Demi Tuhan pencipta langit bumi, jika engkau mencintainya engkau pasti sanggup bertukar derita dengannya, namun karena tak mungkin, maka bantulah ia sebisamu, semampumu untuk terus mendampinginya, menemaninya. Memandikan si buah hati, memijatnya, membalurnya dengan minyak telon dan kayu putih, menaburkan bedak wangi, memasangkan gurita, popok, baju hangatnya, menyelimutinya, menggendongnya, menidurkannya dengan dendang shalawat, kalimat takbir, tahlil dan tahmid, agar tidur lelapnya dijaga para malaikat.

Engkau akan rasakan bagaimana menjadi ayah, adalah ketika engkau dikencingi bayi mungilmu, engkau akan mengerti bagaimana rasanya menjadi Bapak ketika bayimu tersenyum setiap memandang wajahmu, tertawa bersamamu, terlelap dalam dekapanmu.

Terus dan teruslah dampingi kekasihmu, dalam susah dan senang, bersama membesarkan si buah hati, bukankah ia adalah buah dari kebersamaan cinta kalian?

Engkau mungkin tak sehebat raja pembangun Taj Mahal, monumen persembahan terbesar laki-laki pada wanita yang dicintainya, namun jika engkau diberi kekuasaan laksana Raja pembangun Taj Mahal .... pastilah akan engkau perintahkan punggawa-punggawamu, menteri-menterimu, pengikutmu, pasukan tempurmu yang gagah berani untuk dengan segenap jiwa raga melindungi, mengasihi, mencintai, menyayangi, nenek datuk mereka, ibu-ibu mereka, isteri-isteri mereka, anak-anak perempuan mereka, cucu-cucu perempuan mereka, sahabat-sahabat wanita mereka, kepada semua wanita.

Dengan segenap kasih akan engkau tegakkan perintahmu dan dengan pedang akan engkau luruskan pengkhianatan dan pembangkangan titah perintahmu.

Wahai putri yang sebentar lagi menjadi Ratu............adakah orang yang tepat untuk engkau nikahi ?Jawabannya : tidak akan pernah ada orang yang benar-benar tepat untuk dinikahi. Karena memang manusia tercipta tidak dengan segala kesempurnaan. Tidak penting seberapa tepat pasangan pendampingmu, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana engkau wahai Putri... memperlakukan pernikahanmu, menjaga perkawinanmu, dengan cinta dan pengertian, dengan kesediaan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan, dengan kemauan untuk saling membahagiakan, dengan rasa syukur bahwa Allah telah mengantarkanmu seorang laki-laki, yang karenanya beralih tugas orang tuamu, untuk menjaga dan memimpinmu, dunia akhirat.

Begitu tingginya Islam memandang pernikahan, hingga ” Jika ada sesembahan lain di dunia ini selain Allah, maka pasti aku perintahkan wanita tunduk pada suaminya” begitu Rasul bersabda, ini bukan mendewakan laki-laki, tapi memang karena berat tugasnya.

Ialah pemimpinmu seberapapun tinggi kekuasaan yang engkau miliki, seberapa hebatpun perintahmu ditakuti bawahanmu. Tugasnyalah menjaga dirinya dan keluarganya dari panasnya Neraka. Bukankah sejarah menunjukkan bahwa ketaatan istri pada suami menghapuskan dosa orang tuanya, ingatkah engkau betapa ketaatan istri pada suami yang ditinggal suami ke medan perjuangan, untuk tidak meninggalkan rumahnya, hingga bahkan ketika orang tua sang istri sakit dan datang padanya utusan keluarganya untuk mengajak menjenguknya, tak kunjung ia datang menjenguknya, begitu berkali-kali hingga orang tuanya meninggal dunia.

Bisa jadi mata dunia memandang ia istri celaka, anak perempuan tak tahu budi. Namun apa kata Rasul : ” Surga diberikan kepada orang tuanya karena ketaatannya pada sang suami”. Indah nian makna ketaatan istri pada suami, andai bukan karena ketaatan itu, bisa jadi nerakalah tempat orang tua itu, jika begitu mata mana yang hendak engkau pakai melihat, mata dunia yang tak mengerti hakekat? Atau perintah Rasulmu yang mengantarkamu ke jalan selamat.

Karenanya sepanjang suamimu mengajakmu kepada jalan kebenaran, patuhilah segala perintahnya, karena hakekatnya ialah pusat pengabdianmu, menjaga kehormatannya, menyimpan rahasia dan kelemahannya, memelihara harta-hartanya, menjalankan amanahnya.

Jangan engkau dibingungkan oleh pikiran sesat yang dikemas zaman dengan kata emansipasi. Agamamu juga telah mengajarkan bagaimana perempuan juga bisa bertempur sehebat laki-laki, adalah Asma’ Binti Yazid yang mengalahkan pasukan Romawi dengan pasukan perempuan bertongkatnya dalam perang Yarmuk Tahun 13 H. Adalah Rabiyatul Adawiyah, Sufi kenamaan wanita yang namanya menjadi legenda, adalah Aisyah Radiualluhu Anha, istri tercinta kesayangan Rasul, yang padanya Rasul memanggilnya yang kemerah-merahan ” Ya Humaira”, panggilan sayang rasul pada kekasihnya Aisyah binti Abu Bakar. Ia adalah seorang wanita yang berpendapat lugas dan cerdas, memiliki ingatan dan pemahaman hukum agama yang luas, sehingga menjadi salah satu perawi hadist utama. Dalam banyak kesempatan ia menjadi penasihat hukum, dan menentang beberapa pendapat laki-laki yang memandang rendah wanita, karena sepanjang hidup bersama Rasul, beliau telah menunjukkan contoh bagaimana perempuan harus dihargai.

Perubahan paradigma kejahilan menuju cahaya. Islam meletakkan wanita di tempat terhormat, bahkan penghargaan ketaatan utama manusia adalah 3 kali pada ibunya dan hanya sekali pada Bapaknya.

Emansipasi tidak berarti bertukar tempat, karena jika itu terjadi semua menjadi bingung dan kekacauan terjadi, seperti yang kini tengah terjadi.

Hendak kemana engkau menuju ? Modernisasi yang engkaupun tak pahami apa maknanya ? atau melaksanakan tugasmu untuk menaati suamimu dan menjalankan tugas sosialmu secara seimbang dan pada tempatnya.

Wahai Putri yang sebentar lagi menjadi Ratu...............

Wahai Pangeran yang sebentar lagi menjadi Raja......

Begitulah si pendongeng ini bercerita, jika tuanku menemukan kebenaran di dalamnya, pastilah Tuhan Aja Wa Zala sumbernya, jika tuanku dapatkan kekhilafan, maka pastilah si pendongeng ini penyebabnya.

Karenanya ampun maaf tolong lapangkan, atas khilaf dan kesalahan, juga kealpaan dan kelancangan. Karenanya salah khilaf mohon bersihkan, jika terselip kata penoreh luka, penabur lara, penyebab derita.

Dengan Alhamdulillah kami tutup kata, berakhir kalimat. Kami mohonkan do’a semoga segala kebaikan, kebahagiaan selalu menyertai,melalui Sholawat pada junjungan Rasul tercinta.

Berlayarlah si biduk cinta

Bentangkan layar hadapi samudera

Sekali layar terbentang pantang surut berpulang

Meski Badai topan datang menghadang

Berlayarlah terus si bahtera kasih

Berlayarlah terus hingga sampai tujuan

(Ini adalah naskah asli dari penulis yang dibuat untuk memberi penghormatan dan dimuat dalam buku Panduan Acara atas pernikahan Amrif Maldi Reza Syahriansyah ( Putra Bapak Amir Saharuddin Sjahrial) & Yelly Andriawati (Putri Bapak H.Suwito), Gedung Danapala, Juli 2008, Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar